jurnalis

Keterwakilan Perempuan Dalam Politik Indonesia Sebagai Implementasi Kesetaraan Gender

4/07/2014 03:42:00 pm Unknown 1 Comments



Keterwakilan Perempuan Dalam Politik Indonesia Sebagai Implementasi Kesetaraan Gender

Saat ini di Indonesia, perempuan banyak dijumpai di sektor publik baik di bidang ekonomi, politik dan sosial. Perempuan telah menduduki lembaga legislatif maupun eksekutif. Peran perempuan dalam kehidupan tidak boleh dipandang sebelah mata dan tidak boleh dibatasi hanya karena anggapan bahwa kondisi fisik perempuan lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki. Di dunia ini, perempuan terbukti memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam berbagai bidang mulai dari bidang politik, kesusasteraan, seni, ilmu pengetahuan, musik, reformasi sosial, hiburan, petualangan, lingkungan, dan olahraga. Jadi, perempuan tidak hanya berada di dapur seperti anggapan orang-orang yang berpikiran primitif .
Namun terkadang pada kenyataannya, dalam memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dalam politik ini menjadi sangat sulit untuk dipenuhi oleh partai politik dalam mendapatkan kader yang berkualitas. Sehingga partai politik kebanyakan hanya menempatkan perempuan dalam pemenuhan kuota secara formalitas saja bukan sebagai peningkatan aktualisasi perempuan dalam ranah politik. Namun, di balik perjuangan para perempuan sebagian besar memiliki satu kesamaan tujuan yaitu memperjuangkan hak – hak perempuan dan menuntut keadilan gender. Salah satu konsep yang ditawarkan adalah peran ganda perempuan. Perempuan harus berkiprah di wilayah domestik maupun publik.
Keaktifan politik perempuan yang sudah mulai muncul ini seharusnya juga ditunjang dengan kinerja partai politik dalam mengkader calon – calonnya. Partai politik seharusnya mempunyai peran sangat signifikan dalam meningkatkan keterwakilan perempuan. Namun pada kenyataannya belum ada peran partai politik dalam meningkatkan keterwakilan perempuan.


Keterkaitan Partai Politik dengan Partisipasi Politik Perempuan
Perempuan dan kepentingannya dalam partai politik seringkali kurang diperhatikan. Pandangan ini sebenarnya berangkat dari pemahaman atau budaya yang tidak peka terhadap keadilan relasi. Iklim partai politik yang cenderung mereduksi politik sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan tidak memiliki komitmen dan kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang membutuhkan komitmen tinggi, serta persoalan diskriminasi kekerasan terhadap perempuan. Sekalipun terdapat divisi pemberdayaan perempuan dalam partai politik, belum dipergunakan secara maksimal demi mengangkat perempuan ke panggung politik. Suara perempuan dalam partai politik pun mengalami hambatan karna jumlahnya yang rendah, hinga tersingkir oleh mayoritas (laki-laki).
Partai politik terutama diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada perempuan untuk dapat terjun dalam bidang politik dan meningkatkan kualitas perempuan-perempuan yang ada di partai politik. Partai politik jangan hanya menjadikan perempuan sebagai objek propaganda politik saja tetapi juga diharapkan mampu memberikan pendidikan politik dan menjadikan perempuan sebagai ’subjek’ untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam berpolitik. Selain itu, peran parpol sebagai salah satu pilar demokrasi yang memiliki fungsi pendidikan dan rekrutmen serta sosialisasi politik juga harus terus ditingkatkan.
Hal itu bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk belajar berpolitik praktis dengan memberikan tanggung jawab di posisi-posisi yang strategis (tidak hanya administrasi dan keuangan, meskipun juga merupakan bagian dari keandalan perempuan), tapi juga dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dan kontribusi yang signifikan seperti halnya laki-laki.

Partisipasi Politik Perempuan
Partisipasi politik secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Seiring dengan era reformasi yang semakin terbuka ditandai dengan hidupnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat tentunya memberikan kesempatan yang luas kepada setiap warga negara untuk menikmatinya.
Dalam kehidupan sosial bernegara, setiap warga negara pada dasarnya tidak ada pembedaan atas hak dan kewajibannya, semuanya sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Termasuk dalam hal ini adalah hak berpolitik, hak untuk memberikan pendapat dan hak untuk melakukan koreksi atas pemerintahan. Semua hal tersebut tentunya dilaksanakan dengan cara-cara dan mekanisme yang telah diatur oleh sistem pemerintahan. Sejarah perpolitikan di Indonesia maupun negara berkembang lain, pada umumnya peranan perempuan memang dipandang terlambat dalam keterlibatan di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan dalam posisi domestik, dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah dalam dunia politik. Salah satu indikatornya adalah jumlah perempuan yang memegang jabatan publik masih sangat sedikit. Fenomena tersebut bukan hanya terjadi pada tingkat pusat, tetapi juga berimbas pada tingkatan lokal atau daerah.
Partisipasi politik perempuan saat ini semakin dibutuhkan dalam upaya pengintegrasian kebutuhan gender dalam berbagai kebijakan publik dan menghasilkan instrument hukum yang sensitif gender, yang selama ini terabaikan dan banyak menghambat kemajuan perempuan di berbagai sektor kehidupan.
Partisipasi politik elit politik perempuan dalam pemilu bukan hanya memilih wakil-wakil rakyat saja namun elit politik perempuan dalam kegiatan pemilu juga dimungkinkan untuk memilih bentuk-bentuk partisipasi yang lain. Hal ini didasarkan pada karakter manusia yang memiliki kebebasan, kreatifitas, serta keyakinan untuk memilih, menggunakan, dan mengevaluasi cara, prosedur, metode, dan perangkat dalam merealisasikan orientasinya tersebut.Keikutsertaan elit politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari adanya motif yang mendorong elit politik perempuan dalam berpartisipasi.

Partisispasi Perempuan dalam Kebijakan
Persoalan tentang peran perempuan dalam 10 tahun terakhir ini cukup menarik dan semakin banyak membuka ruang bagi kiprah perempuan di Indonesia. Ruang aktualisasi perempuan tidak sekedar hanya pada bidang-bidang yang dianggap milik laki-laki saja namun juga karir perempuan dibidang-bidang tersebut juga terlihat mulai diperhitungkan. Selain itu, hambatan kiprah perempuan di Indonesia memang cukup kompleks sehingga diberbagai bidang perempuan kurang mampu menunjukkan kompetensinya. Misalnya saja hambatan dalam budaya, regulasi, agama maupun perspektif masyarakat Indonesia.
Akibatnya peran perempuan tetap saja tidak terbuka bagi perkembangan perempuan di Indonesia. Beberapa regulasi pra reformasi dan perlakuan yang ada terutama di birokrasi tidak jauh berbeda. Hampir tidak ada kepala daerah perempuan di jaman orde baru lalu. Kondisi ini juga ditambah dengan pemahaman agama yang kurang terbuka. Akibatnya, banyak kebijakan yang ditetapkan tidak memiliki sense of gender (kesetaraan jender). Kebijakan yang termasuk tingkat tidak termasuk rumit seperti contohnya pembuatan jembatan penyeberangan. Bagaimana desain tangga jembatan tersebut itu harus mengandung sensitif pro gender, apabila tangga jembatan tersebut dibuat dengan berlubang-lubang, maka yang akan dirugikan adalah pihak perempuan. Karena perempuanlah yang seringkali menggunakan rok, dan tentu saja apabila harus melewati jembatan tersebut maka akan terjadi pelecehan seksual. Hal-hal kecil seperti inilah yang tetap harus diperhitungkan oleh pemerintah.
            Politik yang mereka maksud terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Artinya, aktivitas politik mereka senantiasa diarahkan pada upaya untuk meraih peluang sebesar-besarnya untuk duduk di jabatan kekuasaan atau legislasi, tuntutan kuota perempuan di dalam parlemen, tuntutan independensi hak suara perempuan dalam Pemilihan Umum (Pemilu), karena dalam logika mereka, besarnya akses dalam lingkaran kekuasaan dan legislasi menjadi jalan bagi munculnya perubahan struktur masyarakat ke arah yang lebih equal dan egaliter, yaitu aspirasi perempuan dipastikan akan senantiasa mewarnai setiap kebijakan publik yang diterapkan. Pada akhirnya persoalan-persoalan krusial yang selama ini dihadapi perempuan pun akan secara otomatis terselesaikan.
Melalu parlemen perempuan diminta untuk bersuara menyampaiakn ide politisnya yang berperspektif gender dan melindungi perempuan korban dalam penangan dan pencegahan kasus perempuan yang semakin lama semakin menjadi polemik dimasyarakat. Karena dalam rangka menyukseskan misi gerakan untuk bebas dari tirani kekerasan dan diskriminasi ruang politik menjadi penting sebagai strategi gerak perempuan dalam pengatasan masalah didalamnya.
            Perempuan di parlemen Indonesia merupakan sebuah proses panjang, tentang perjuangan perempuan di wilayah publik. Kongres Wanita Indonesia pertama, pada tahun 1928, yang membangkitkan kesadaran dan meningkatkan rasa nasionalisme di kalangan perempuan merupakan tonggak sejarah, karena berperan dalam meningkatkan kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk dalam politik. Dalam pemilihan umum pertama pada tahun 1955, 6,5 persen dari anggota parlemen adalah perempuan. Kemudian, representasi perempuan Indonesia di parlemen mengalami pasang surut, dan mencapai angka tertinggi
sebesar 13,0 persen pada tahun 1987. Saat ini, jumlah perempuan mencapai 8,8 persen dari seluruh anggota perwakilan terpilih.
Sejak perubahan UUD 1945 yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mulai tahun 1999 hingga 2001 terjadi perubahan substantif pada institusi ketatanegaraan di Indonesia. Salah satunya diwujudkan dengan adopsi parlemen dua kamar (bikameral terbatas) yaitu DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Perubahan tersebut merupakan hasil tuntutan reformasi politik yang menghendaki adanya penguatan terhadap lembaga legislatif sebagai institusi strategis pengemban perwakilan rakyat.Perubahan signifikan terhadap peran dan kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif memiliki dua tujuan strategis. Yaitu untuk membangun mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) di antara lembaga tinggi negara, juga mendorong lahirnya produk lembaga legislatif (khususnya undang-undang dan anggaran) yang berpihak pada kepentingan rakyat secara umum.
            Meskipun secara nasional, sejak pemilu tahun 1955, unsur perempuan selalu terwakili di DPR dan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), persentase keterwakilan mereka menunjukkan perbedaan. Kongres Wanita Indonesia pertama pada tahun 1928 merupakan tonggak sejarah bagi wanita Indonesia dalam upaya memperluas peran publik mereka, khususnya dalam politik. Dalam forum ini organisasi-organisasi perempuan dari berbagai kelompok etnis, agama dan bahasa dipersatukan. Kemunculan dan perkembangan organisasi-organisasi ini memainkan peranan penting dalam meningkatkan kualitas diri perempuan, seperti meningkatkan kemampuan manajemen, memperluas wawasan, dan mengembangkan jaringan. Organisasi dan gerakan wanita ini meningkatkan posisi tawar perempuan, dalam pemerintah dan institusi lainnya.
Perempuan Dalam Politik
            Bersama dengan institusi-institusi lain, MPR memiliki tanggungjawab untuk membuat dan memperbarui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk pedoman pelaksanaan pemerintahan dan berbagai kebijakan nasional. Sejak tahun 1988, GBHN telah mengandung ketetapan-ketetapan mengenai peranan perempuan, selain keberadaan Menteri Muda Urusan Perempuan dalam kabinet. Posisi ini terus dipertahankan, sekalipun dengan nama serta visi dan misi yang berubah. Isu-isu perempuan dan, yang berkembang menjadi, isu gender tertuang dalam GBHN tahun 1993, 1998 dan 1999.
Dalam GBHN tahun 1999, dinyatakan bahwa pemberdayaan perempuan  dilaksanakan melalui upaya: pertama, peningkatan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, kedua meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum perempuan dalam melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.Keterwakilan perempuan di dalam parlemen menjadi sebuah hal yang patut diwujudkan.
Berbeda dengan GBHN pada umumnya yang ditujukan bagi pihak eksekutif, GBHN tahun 1999 merupakan pedoman untuk diberlakukan dan mengikat bagi seluruh institusi kenegaraan seperti eksekutif (Presiden) yudikatif (Mahkamah Agung), legislatif (DPR/MPR), dan lembaga pemeriksa keuangan (BPK), khususnya pernyataan tentang peningkatan kedudukan dan peran peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Affirmative action ini telah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak Pemilu 2004, melalui Undang-undang Partai Politik No. 31 tahun 2002 yang mengatur keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak 30%. Meski upaya penerapan kuota telah dilakukan, namun pada Pemilu 2009 belum menunjukkan angka keberhasilan yang signifi kan karena baru mencapai 18.04% (101 orang dari 560 orang anggota) keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). sementara keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mencapai 26.52% (35 orang dari 132 orang anggota).
Kekuatan politik perempuan
Menggagas peran perempuan dalam politik Indonesia masih terlihat sebagai cerita klasik yang menempati ruang pinggir diskursus kontemporer selama lebih kurang lima dekade. Perjuangan Kartini pada masa pra kemerdekaan menemukan relevansinya bahwa domistikasi peran perempuan, ketidaksetaraan kesempatan dalam pendidikan dan peran publik bukan merupakan hal baru. Posisi perempuan yang cenderung dinomorduakan menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa ini, mengingat perempuan seharusnya turut mengambil peran yang penting dalam pembangunan. Perempuan selalu diasosiasikan mengambil peran sebatas urusan-urusan domestik yang hanya seputar rumah tangga. Hal ini bukan suatu kebetulan tapi sudah menjadi konstruksi budaya yang sudah menjadi tradisi dan merugikan pihak perempuan, karena akan berimbas kepada ketidakadilan dalam mendapatkan kesempatan untuk tampil dalam kehidupan politik.
Kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik pada tahun 2004 terbuka lebar dengan dicantumkannya kuota 30 persen sebagai nominasi calon legislatif dalam undang-undang pemilihan umum. Hal ini merupakan terobosan positif yang masih sangat awal bagi peningkatan partisipasi politik perempuan di Indonesia khususnya diparlemen.
Memperkuat partisipasi politik perempuan perlu penguatan peran dan kesempatan yang sama baik bagi laki-laki maupun perempuan untuk terlibat dalam politik yang dimulai dari keterlibatan langsung dengan cara memasukkan porsi perempuan yang lebih besar dalam struktur partai politik.Hal ini diatur dalam undang-undang partai politik dan setiap partai politik wajib untuk mengikutinya sebagai bagian dari upaya keberpihakan kepada perempuan dan untuk memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.
Kesempatan dalam kiprah politik dan peran kepemimpinan bagi perempuan,penting untuk terus ditingkatkan tidak hanya untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik, tetapi juga agar perempuan dapat membangun sistem dan etika politik yang semakin baik. Ini terkait dengan kapasitas perempuan sebagai pemilih, pemimpin partai politik, legislator atau pejabat pemerintah supaya semakin banyak kebijakan publik yang merefleksikan kekhawatiran dan perspektif perempuan serta diiiringi derajat sensitifitas yang makin tinggi pada berbagai persoalan di tanah air. Hasil penelitian di beberapa negara di dunia menunjukkan bahwa efektifitas peran perempuan dalam mendorong kesejahteraan lebih kuat pengaruhnya melalui peran dalam legislatif ketimbang eksekutif.
Merujuk pada kondisi saat ini, mayoritas parlemen di dunia masih didominasi oleh anggota laki-laki. Representasi perempuan di parlemen rata-rata masih rendah, belum mencapai 30%. Kondisi ini mengindikasikan bahwa aturan main atau regulasi atau norma, bangunan struktur, proses kerja maupun penilaian atas kinerja anggota parlemen masih ditentukan melalui ukuran-ukuran dan kriteria yang dibuat para aktor pembuat kebijakan yang sebagian besar terdiri dari laki-laki. Ketika kaum perempuan mulai ikut berpartisipasi di lembaga perwakilan ini, dengan representasi yang terus meningkat, dirasakan bahwa aturan main, regulasi, bangunan struktur kelembagaan di parlemen, norma,proses kerja maupun penilaian atas kinerja dan produk yang dihasilkan belum bisa mengakomodasi kepentingan mereka dan bahkan cenderung bias serta diskriminatif.


Perempuan,Gender & Politik (konsepsi)
            Gender membahas tentang persamaan & perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, gender berbicara dalam lingkup tataran kehidupan sosial budaya masyarakat (Sociological sphere).
            Mengapa harus ada kesetaraan gender?
Setara (equal)  agar bisa hidup selaras, serasi, dan seimbang dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian laki-laki dan perempuan dapat saling isi-mengisi, saling berbagai tugas dan dalam segala aktivitas dan dimensi kehidupan & pembangunan.
Konsep Feminisme
•      Perempuan mandiri, bebas dari kungkungan laki-laki, bebas menentukan diri sendiri baik sebelum maupun sesudah berkeluarga.
•      Perempuan dapat menjadi pemimpin di dalam atau diluar rumah tangga, yang penting mampu bila memutuskan hubungan suami – isteri.

Konsep Equalisme
* Perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki dalam kehidupan individu atau berkeluarga dengan membangun keseimbangan antara kepentingan pribadi & keluarga, bisa membawkan dri dalam konteks yang berbeda.

Parlemen yang sensitif gender merupakan agenda strategis yang sedang didorong secara internasional. Ide dasarnya adalah pengarusutamaan gender dalam institusi pengambil kebijakan. Tujuan utamanya adalah mengintegrasikan perspektif gender dalam semua produk kebijakan sehingga menjadikan parlemen akuntabel, responsif, representatif, adil dan berkesetaraan.
Gagasan tentang pengarusutamaan gender (PUG) menjadi strategi politik, gerakan serta ideologi yang disuarakan untuk mengatasi dan merespons persoalan tersebut. Gagasan tentang pengarusutamaan gender (PUG) adalah konsep yang dikembangkan oleh gerakan perempuan, diadopsi secara internasional dan dicetuskan sejak 1995 (Beijing Declaration).
            Secara sederhana PUG dimaknai sebagai strategi untuk mengintegrasikan prinsip keadilan gender sebagai pusat dari keseluruhan mekanisme pembuatan dan pengambilan kebijakan.
            Tujuannya untuk pencapaian keadilan gender dan penghapusan diskriminasi gender di semua level.Di arena politik, PUG memiliki beberapa tujuan, yaitu (1) untuk menghapus kesenjangan gender dan peningkatan representasi; (2) agar lembaga politik pengambilan keputusan termasuk parlemen bisa menjadi institusi yang memberi keadilan dan kesetaraan bagi anggota laki-laki dan perempuan; (3) produk kebijakan yang sensitif dan peka pada perbedaan laki-laki dan perempuan serta; (4) aturan main di dalamnya tidak bias dan mendiskriminasi salah satu jenis kelamin.
Pemaknaan PUG bukan hanya dimaknai sebagai ‘policy framework’ yang kaku dan secara umum sering dilakukan melalui analisa dokumen, check list data terpilah berdasarkan gender dan analisa kebijakan yang dibuat partai/ fraksi, yang dihasilkan DPR dan DPD dengan menggunakan perspektif gender.Model seperti itu jika tidak dilengkapi dengan analisis kritis konteks politik Indonesia terkini dan gerakan perempuan, maka tidak akan memadai untuk menjawab tantangan menjadikan perempuan di parlemen sebagai agen perubahan untuk transformatif politik.
Hal lain yang juga harus diperhitungkan sangat serius dalam upaya membuat parlemen yang responsif gender adalah medan pertarungan politik yang tersedia dan apakah memang medan pertarungan (political opportunity structure) menjadi ruang yang kondusif untuk transformasi politik kaum perempuan di parlemen.
Berdasarkan latar belakang tersebut pengarusutamaan gender di DPD dan DPR dengan demikian tidak hanya menganalisa dokumen regulasi, komposisi keanggotaan, aturan main DPR/DPD selama 2004- 2009 yang dilengkapi dengan data terpilah yang dikumpulkan. Tapi lebih jauh dari itu, studi ini juga dilengkapi dengan analisis konteks politik, analisis aktor dominan dan gerakan perempuan Indonesia di arena politik yang dianggap akan lebih tajam menjawab tantangan pengarusutamaan gender di parlemen serta rekomendasi untuk membangun parlemen yang responsif gender ke depan.

Kesimpulan
            Perubahan sistem Pemilu pasca reformasi, telah terjadi peningkatan semangat keterbukaan dalam sistem politik, jumlah organisasi non-pemerintah (ornop) telah meningkat, dan pembatasan-pembatasan terhadap aktifitas partai-partai politik juga telah dihapuskan. Kondisi ini telah membawa pengaruh positif terhadap perempuan. Berbagai ornop yang aktif di bidang hak-hak perempuan telah meningkatkan kegiatan mereka. Akhirnya, selama anggota legislatif masih berasal dari parpol, keterwakilan perempuan dalam politik akan kembali kepada kesungguhan dan political good will dari parpol dan segenap jajaran elitenya. Pesan lain yang perlu digariskan, berapa pun persentase keterwakilan perempuan dalam politik juga harus didasari pertimbangan rasional dan strategis, seperti kapabilitas untuk bersaing dan berkontribusi dalam politik praktis secara signifikan, dukungan basis massa yang jelas, dan pengalaman yang relevan, dan visi serta misi yang sejalan dengan parpol. Tantangan yang berat, tapi bukan tidak mungkin untuk diwujudkan.
Selain itu banyak bermunculan organisasi-organisasi yang memperjuangkan pemberdayaan politik bagi perempuan.Secara umum, organisasi-organisasi ini setuju untuk memperjuangkan kuota bagi representasi perempuan, sambil menyatakan perlunya kuota minimum sebesar 20-30 persen bagi representasi perempuan di parlemen.Mereka juga telah memperjuangkan pencantuman kuota ini dalam konstitusi, walaupun mereka masih belum berhasil.Mereka juga sedang melobi pimpinan partai-partai politik agar mengangkat isu representasi perempuan dalam posisi-posisi strategis dalam partai-partai politik tersebut.
Selain dari isu tentang kuota, isu yang mendesak adalah bahwa tingkat representasi perempuan di parlemen bisa ditingkatkan dan aspirasi masyarakat bisa disalurkan dengan lebih baik, dengan merevisi sistem pemilihan umum.Sampai saat ini, sistem parlemen yang berlaku di Indonesia adalah sistem pemilu proporsional.Namun, banyak orang memperdebatkan bahwa sistem proporsional bisa memberi kesempatan terbaik untuk meningkatkan representasi, karena banyak perempuan bisa diajukan untuk ikut pemilihan melalui penggunaan daftar-daftar calon.Jika perempuan terwakili dengan baik pada jabatan-jabatan yang dapat dipilih dalam daftar-daftar ini maka mereka akan mendapat kesempatan baik untuk bisa terpilih.Oleh karena itu, revisi terhadap sistem pemilihan umum bisa memberi pengaruh baik bagi pemilihan perempuan masuk ke parlemen dimasa datang.Selain itu prioritas gender di DPR RI membutuhkan prasyarat,yaitu prioritas gender di partai politik yang seharusnya hadir terlebih dahulu karena berperan penting dalam pengkaderan perempuan dalam parlemen kedepan.
Selain itu, perempuan ditantang untuk mendobrak lobi-lobi politisi laki-laki yang elitis, misalnya dalam pencalonan dan penentuan nomor urut, terlepas dari pertimbangan dan keputusan akan suara terbanyak dalam pemilu mendatang. Belum lagi, budaya politik parpol yang masih cenderung sentralistis dan patriarkat yang membuat caleg perempuan tidak ditempatkan di nomor jadi dan dinominasikan hanya sebagai formalitas tanpa kematangan mekanisme pendidikan dan rekrutmen politik yang memadai demi memenuhi kuota 30% yang diamanatkan undang-undang.
Selain itu, peran parpol sebagai salah satu pilar demokrasi yang memiliki fungsi pendidikan dan rekrutmen serta sosialisasi politik harus terus ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk belajar berpolitik praktis dengan memberikan tanggung jawab di posisi-posisi yang strategis (tidak hanya administrasi dan keuangan, meskipun juga merupakan bagian dari keandalan perempuan), tapi juga dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan.


Daftar Pustaka
  • Sanit, Arbi.1985. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali.
  • Sanit,Arbi.1995.Ormas dan Politik. Jakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan.

You Might Also Like

1 comment:

  1. Artikelnya sangat berfaedah. Mohon izin dijadikan referensi. Ok

    ReplyDelete