jurnalis
Keterwakilan Perempuan Dalam Politik Indonesia Sebagai Implementasi Kesetaraan Gender
Keterwakilan Perempuan Dalam
Politik Indonesia Sebagai Implementasi Kesetaraan Gender
Saat
ini di Indonesia, perempuan banyak dijumpai di sektor publik baik di bidang
ekonomi, politik dan sosial. Perempuan telah menduduki lembaga legislatif
maupun eksekutif. Peran perempuan dalam kehidupan tidak boleh dipandang sebelah
mata dan tidak boleh dibatasi hanya karena anggapan bahwa kondisi fisik
perempuan lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki. Di dunia ini, perempuan
terbukti memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam berbagai bidang
mulai dari bidang politik, kesusasteraan, seni, ilmu pengetahuan, musik,
reformasi sosial, hiburan, petualangan, lingkungan, dan olahraga. Jadi,
perempuan tidak hanya berada di dapur seperti anggapan orang-orang yang
berpikiran primitif .
Namun
terkadang pada kenyataannya, dalam memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan
dalam politik ini menjadi sangat sulit untuk dipenuhi oleh partai politik dalam
mendapatkan kader yang berkualitas. Sehingga partai politik kebanyakan hanya
menempatkan perempuan dalam pemenuhan kuota secara formalitas saja bukan
sebagai peningkatan aktualisasi perempuan dalam ranah politik. Namun, di balik
perjuangan para perempuan sebagian besar memiliki satu kesamaan tujuan yaitu
memperjuangkan hak – hak perempuan dan menuntut keadilan gender. Salah satu
konsep yang ditawarkan adalah peran ganda perempuan. Perempuan harus berkiprah
di wilayah domestik maupun publik.
Keaktifan
politik perempuan yang sudah mulai muncul ini seharusnya juga ditunjang dengan
kinerja partai politik dalam mengkader calon – calonnya. Partai politik
seharusnya mempunyai peran sangat signifikan dalam meningkatkan keterwakilan
perempuan. Namun pada kenyataannya belum ada peran partai politik dalam
meningkatkan keterwakilan perempuan.
Keterkaitan
Partai Politik dengan Partisipasi Politik Perempuan
Perempuan
dan kepentingannya dalam partai politik seringkali kurang diperhatikan. Pandangan
ini sebenarnya berangkat dari pemahaman atau budaya yang tidak peka terhadap
keadilan relasi. Iklim partai politik yang cenderung mereduksi politik sebagai
alat untuk mendapatkan kekuasaan tidak memiliki komitmen dan kepedulian
terhadap persoalan-persoalan yang membutuhkan komitmen tinggi, serta persoalan
diskriminasi kekerasan terhadap perempuan. Sekalipun terdapat divisi
pemberdayaan perempuan dalam partai politik, belum dipergunakan secara maksimal
demi mengangkat perempuan ke panggung politik. Suara perempuan dalam partai
politik pun mengalami hambatan karna jumlahnya yang rendah, hinga tersingkir
oleh mayoritas (laki-laki).
Partai
politik terutama diharapkan mampu memberikan kesempatan kepada perempuan untuk
dapat terjun dalam bidang politik dan meningkatkan kualitas perempuan-perempuan
yang ada di partai politik. Partai politik jangan hanya menjadikan perempuan
sebagai objek propaganda politik saja tetapi juga diharapkan mampu memberikan
pendidikan politik dan menjadikan perempuan sebagai ’subjek’ untuk meningkatkan
partisipasi perempuan dalam berpolitik. Selain itu, peran parpol sebagai salah
satu pilar demokrasi yang memiliki fungsi pendidikan dan rekrutmen serta
sosialisasi politik juga harus terus ditingkatkan.
Hal
itu bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk belajar
berpolitik praktis dengan memberikan tanggung jawab di posisi-posisi yang
strategis (tidak hanya administrasi dan keuangan, meskipun juga merupakan
bagian dari keandalan perempuan), tapi juga dilibatkan dalam proses pembuatan
kebijakan agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dan kontribusi yang
signifikan seperti halnya laki-laki.
Partisipasi
Politik Perempuan
Partisipasi
politik secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini
mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik.
Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung
keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena
kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik.
Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan,
mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan,
termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Di
Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu
pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah
dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Seiring dengan era reformasi
yang semakin terbuka ditandai dengan hidupnya nilai-nilai demokrasi dalam
masyarakat tentunya memberikan kesempatan yang luas kepada setiap warga negara
untuk menikmatinya.
Dalam
kehidupan sosial bernegara, setiap warga negara pada dasarnya tidak ada pembedaan
atas hak dan kewajibannya, semuanya sama dihadapan hukum dan pemerintahan.
Termasuk dalam hal ini adalah hak berpolitik, hak untuk memberikan pendapat dan
hak untuk melakukan koreksi atas pemerintahan. Semua hal tersebut tentunya
dilaksanakan dengan cara-cara dan mekanisme yang telah diatur oleh sistem
pemerintahan. Sejarah perpolitikan di Indonesia maupun negara berkembang lain,
pada umumnya peranan perempuan memang dipandang terlambat dalam keterlibatan di
dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan dalam posisi domestik, dianggap
sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah dalam
dunia politik. Salah satu indikatornya adalah jumlah perempuan yang memegang
jabatan publik masih sangat sedikit. Fenomena tersebut bukan hanya terjadi pada
tingkat pusat, tetapi juga berimbas pada tingkatan lokal atau daerah.
Partisipasi
politik perempuan saat ini semakin dibutuhkan dalam upaya pengintegrasian
kebutuhan gender dalam berbagai kebijakan publik dan menghasilkan instrument
hukum yang sensitif gender, yang selama ini terabaikan dan banyak menghambat
kemajuan perempuan di berbagai sektor kehidupan.
Partisipasi
politik elit politik perempuan dalam pemilu bukan hanya memilih wakil-wakil
rakyat saja namun elit politik perempuan dalam kegiatan pemilu juga
dimungkinkan untuk memilih bentuk-bentuk partisipasi yang lain. Hal ini
didasarkan pada karakter manusia yang memiliki kebebasan, kreatifitas, serta
keyakinan untuk memilih, menggunakan, dan mengevaluasi cara, prosedur, metode,
dan perangkat dalam merealisasikan orientasinya tersebut.Keikutsertaan elit
politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari adanya motif yang mendorong elit
politik perempuan dalam berpartisipasi.
Partisispasi
Perempuan dalam Kebijakan
Persoalan
tentang peran perempuan dalam 10 tahun terakhir ini cukup menarik dan semakin
banyak membuka ruang bagi kiprah perempuan di Indonesia. Ruang aktualisasi
perempuan tidak sekedar hanya pada bidang-bidang yang dianggap milik laki-laki
saja namun juga karir perempuan dibidang-bidang tersebut juga terlihat mulai
diperhitungkan. Selain itu, hambatan kiprah perempuan di Indonesia memang cukup
kompleks sehingga diberbagai bidang perempuan kurang mampu menunjukkan
kompetensinya. Misalnya saja hambatan dalam budaya, regulasi, agama maupun
perspektif masyarakat Indonesia.
Akibatnya
peran perempuan tetap saja tidak terbuka bagi perkembangan perempuan di
Indonesia. Beberapa regulasi pra reformasi dan perlakuan yang ada terutama di
birokrasi tidak jauh berbeda. Hampir tidak ada kepala daerah perempuan di jaman
orde baru lalu. Kondisi ini juga ditambah dengan pemahaman agama yang kurang
terbuka. Akibatnya, banyak kebijakan yang ditetapkan tidak memiliki sense of
gender (kesetaraan jender). Kebijakan yang termasuk tingkat tidak termasuk
rumit seperti contohnya pembuatan jembatan penyeberangan. Bagaimana desain tangga
jembatan tersebut itu harus mengandung sensitif pro gender, apabila tangga
jembatan tersebut dibuat dengan berlubang-lubang, maka yang akan dirugikan
adalah pihak perempuan. Karena perempuanlah yang seringkali menggunakan rok,
dan tentu saja apabila harus melewati jembatan tersebut maka akan terjadi
pelecehan seksual. Hal-hal kecil seperti inilah yang tetap harus diperhitungkan
oleh pemerintah.
Politik yang mereka maksud terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi
saja. Artinya, aktivitas politik mereka senantiasa diarahkan pada upaya untuk
meraih peluang sebesar-besarnya untuk duduk di jabatan kekuasaan atau
legislasi, tuntutan kuota perempuan di dalam parlemen, tuntutan independensi
hak suara perempuan dalam Pemilihan Umum (Pemilu), karena dalam logika mereka,
besarnya akses dalam lingkaran kekuasaan dan legislasi menjadi jalan bagi munculnya
perubahan struktur masyarakat ke arah yang lebih equal dan egaliter, yaitu
aspirasi perempuan dipastikan akan senantiasa mewarnai setiap kebijakan publik
yang diterapkan. Pada akhirnya persoalan-persoalan krusial yang selama ini
dihadapi perempuan pun akan secara otomatis terselesaikan.
Melalu parlemen perempuan diminta
untuk bersuara menyampaiakn ide politisnya yang berperspektif gender dan
melindungi perempuan korban dalam penangan dan pencegahan kasus perempuan yang
semakin lama semakin menjadi polemik dimasyarakat. Karena dalam rangka
menyukseskan misi gerakan untuk bebas dari tirani kekerasan dan diskriminasi
ruang politik menjadi penting sebagai strategi gerak perempuan dalam pengatasan
masalah didalamnya.
Perempuan di parlemen Indonesia merupakan sebuah proses panjang, tentang
perjuangan perempuan di wilayah publik. Kongres Wanita Indonesia pertama, pada
tahun 1928, yang membangkitkan kesadaran dan meningkatkan rasa nasionalisme di
kalangan perempuan merupakan tonggak sejarah, karena berperan dalam
meningkatkan kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam
pembangunan, termasuk dalam politik. Dalam pemilihan umum pertama pada tahun
1955, 6,5 persen dari anggota parlemen adalah perempuan. Kemudian, representasi
perempuan Indonesia di parlemen mengalami pasang surut, dan mencapai angka
tertinggi
sebesar 13,0 persen pada tahun 1987. Saat ini, jumlah
perempuan mencapai 8,8 persen dari seluruh anggota perwakilan terpilih.
Sejak perubahan UUD 1945 yang dilakukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mulai tahun 1999 hingga 2001 terjadi
perubahan substantif pada institusi ketatanegaraan di Indonesia. Salah satunya
diwujudkan dengan adopsi parlemen dua kamar (bikameral terbatas) yaitu DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Perubahan tersebut
merupakan hasil tuntutan reformasi politik yang menghendaki adanya penguatan
terhadap lembaga legislatif sebagai institusi strategis pengemban perwakilan
rakyat.Perubahan signifikan terhadap peran dan kewenangan DPR sebagai lembaga
legislatif memiliki dua tujuan strategis. Yaitu untuk membangun mekanisme
pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) di antara lembaga tinggi
negara, juga mendorong lahirnya produk lembaga legislatif (khususnya
undang-undang dan anggaran) yang berpihak pada kepentingan rakyat secara umum.
Meskipun secara nasional, sejak pemilu tahun 1955, unsur perempuan selalu
terwakili di DPR dan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), persentase
keterwakilan mereka menunjukkan perbedaan. Kongres Wanita Indonesia pertama
pada tahun 1928 merupakan tonggak sejarah bagi wanita Indonesia dalam upaya
memperluas peran publik mereka, khususnya dalam politik. Dalam forum ini
organisasi-organisasi perempuan dari berbagai kelompok etnis, agama dan bahasa
dipersatukan. Kemunculan dan perkembangan organisasi-organisasi ini memainkan
peranan penting dalam meningkatkan kualitas diri perempuan, seperti
meningkatkan kemampuan manajemen, memperluas wawasan, dan mengembangkan
jaringan. Organisasi dan gerakan wanita ini meningkatkan posisi tawar
perempuan, dalam pemerintah dan institusi lainnya.
Perempuan Dalam Politik
Bersama dengan institusi-institusi lain, MPR memiliki tanggungjawab untuk
membuat dan memperbarui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk pedoman
pelaksanaan pemerintahan dan berbagai kebijakan nasional. Sejak tahun 1988,
GBHN telah mengandung ketetapan-ketetapan mengenai peranan perempuan, selain
keberadaan Menteri Muda Urusan Perempuan dalam kabinet. Posisi ini
terus dipertahankan, sekalipun dengan nama serta visi dan misi yang berubah.
Isu-isu perempuan dan, yang berkembang menjadi, isu gender tertuang dalam GBHN
tahun 1993, 1998 dan 1999.
Dalam GBHN tahun 1999, dinyatakan bahwa
pemberdayaan perempuan dilaksanakan melalui upaya: pertama, peningkatan
kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui
kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, kedua meningkatkan kualitas peran
dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai
persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum perempuan dalam
melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan
masyarakat.Keterwakilan perempuan di dalam parlemen menjadi sebuah hal yang
patut diwujudkan.
Berbeda dengan GBHN pada umumnya yang
ditujukan bagi pihak eksekutif, GBHN tahun 1999 merupakan pedoman untuk
diberlakukan dan mengikat bagi seluruh institusi kenegaraan seperti eksekutif
(Presiden) yudikatif (Mahkamah Agung), legislatif (DPR/MPR), dan lembaga
pemeriksa keuangan (BPK), khususnya pernyataan tentang peningkatan kedudukan
dan peran peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Affirmative
action ini telah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak Pemilu 2004, melalui
Undang-undang Partai Politik No. 31 tahun 2002 yang mengatur keterlibatan
perempuan dalam kepengurusan partai politik dan kuota pencalonan legislatif
perempuan sebanyak 30%. Meski upaya penerapan kuota telah dilakukan, namun pada
Pemilu 2009 belum menunjukkan angka keberhasilan yang signifi kan karena baru
mencapai 18.04% (101 orang dari 560 orang anggota) keterwakilan perempuan di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). sementara keterwakilan perempuan di Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) mencapai 26.52% (35 orang dari 132 orang anggota).
Kekuatan
politik perempuan
Menggagas
peran perempuan dalam politik Indonesia masih terlihat sebagai cerita klasik
yang menempati ruang pinggir diskursus kontemporer selama lebih kurang lima
dekade. Perjuangan Kartini pada masa pra kemerdekaan menemukan relevansinya
bahwa domistikasi peran perempuan, ketidaksetaraan kesempatan dalam pendidikan
dan peran publik bukan merupakan hal baru. Posisi perempuan yang cenderung
dinomorduakan menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa ini, mengingat
perempuan seharusnya turut mengambil peran yang penting dalam pembangunan.
Perempuan selalu diasosiasikan mengambil peran sebatas urusan-urusan domestik
yang hanya seputar rumah tangga. Hal ini bukan suatu kebetulan tapi sudah
menjadi konstruksi budaya yang sudah menjadi tradisi dan merugikan pihak
perempuan, karena akan berimbas kepada ketidakadilan dalam mendapatkan
kesempatan untuk tampil dalam kehidupan politik.
Kesempatan
bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik pada tahun 2004 terbuka lebar
dengan dicantumkannya kuota 30 persen sebagai nominasi calon legislatif dalam
undang-undang pemilihan umum. Hal ini merupakan terobosan positif yang masih
sangat awal bagi peningkatan partisipasi politik perempuan di Indonesia
khususnya diparlemen.
Memperkuat
partisipasi politik perempuan perlu penguatan peran dan kesempatan yang sama
baik bagi laki-laki maupun perempuan untuk terlibat dalam politik yang dimulai
dari keterlibatan langsung dengan cara memasukkan porsi perempuan yang lebih
besar dalam struktur partai politik.Hal ini diatur dalam undang-undang partai
politik dan setiap partai politik wajib untuk mengikutinya sebagai bagian dari
upaya keberpihakan kepada perempuan dan untuk memberikan kesempatan yang
sebesar-besarnya kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.
Kesempatan dalam kiprah politik dan
peran kepemimpinan bagi perempuan,penting untuk terus ditingkatkan tidak hanya
untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik, tetapi juga agar
perempuan dapat membangun sistem dan etika politik yang semakin baik. Ini
terkait dengan kapasitas perempuan sebagai pemilih, pemimpin partai politik,
legislator atau pejabat pemerintah supaya semakin banyak kebijakan publik yang
merefleksikan kekhawatiran dan perspektif perempuan serta diiiringi derajat sensitifitas
yang makin tinggi pada berbagai persoalan di tanah air. Hasil penelitian di
beberapa negara di dunia menunjukkan bahwa efektifitas peran perempuan dalam
mendorong kesejahteraan lebih kuat pengaruhnya melalui peran dalam legislatif
ketimbang eksekutif.
Merujuk pada kondisi saat ini,
mayoritas parlemen di dunia masih didominasi oleh anggota laki-laki.
Representasi perempuan di parlemen rata-rata masih rendah, belum mencapai 30%.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa aturan main atau regulasi atau norma,
bangunan struktur, proses kerja maupun penilaian atas kinerja anggota parlemen
masih ditentukan melalui ukuran-ukuran dan kriteria yang dibuat para aktor
pembuat kebijakan yang sebagian besar terdiri dari laki-laki. Ketika kaum
perempuan mulai ikut berpartisipasi di lembaga perwakilan ini, dengan
representasi yang terus meningkat, dirasakan bahwa aturan main, regulasi,
bangunan struktur kelembagaan di parlemen, norma,proses kerja maupun penilaian
atas kinerja dan produk yang dihasilkan belum bisa mengakomodasi kepentingan
mereka dan bahkan cenderung bias serta diskriminatif.
Perempuan,Gender & Politik
(konsepsi)
Gender membahas
tentang persamaan & perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Karena
itu, gender berbicara dalam lingkup tataran kehidupan sosial budaya masyarakat
(Sociological sphere).
Mengapa harus ada kesetaraan gender?
Setara (equal) agar bisa hidup
selaras, serasi, dan seimbang dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian laki-laki dan perempuan dapat saling
isi-mengisi, saling berbagai tugas dan dalam segala aktivitas dan dimensi
kehidupan & pembangunan.
Konsep Feminisme
• Perempuan mandiri, bebas dari
kungkungan laki-laki, bebas menentukan diri sendiri baik sebelum maupun sesudah
berkeluarga.
• Perempuan dapat menjadi pemimpin di
dalam atau diluar rumah tangga, yang penting mampu bila memutuskan hubungan
suami – isteri.
Konsep Equalisme
* Perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki dalam
kehidupan individu atau berkeluarga dengan membangun keseimbangan antara
kepentingan pribadi & keluarga, bisa membawkan dri dalam konteks yang
berbeda.
Parlemen yang sensitif gender merupakan
agenda strategis yang sedang didorong secara internasional. Ide dasarnya adalah
pengarusutamaan gender dalam institusi pengambil kebijakan. Tujuan utamanya
adalah mengintegrasikan perspektif gender dalam semua produk kebijakan sehingga
menjadikan parlemen akuntabel, responsif, representatif, adil dan
berkesetaraan.
Gagasan tentang pengarusutamaan gender
(PUG) menjadi strategi politik, gerakan serta ideologi yang disuarakan untuk
mengatasi dan merespons persoalan tersebut. Gagasan tentang pengarusutamaan
gender (PUG) adalah konsep yang dikembangkan oleh gerakan perempuan, diadopsi
secara internasional dan dicetuskan sejak 1995 (Beijing Declaration).
Secara sederhana PUG dimaknai sebagai strategi untuk mengintegrasikan prinsip
keadilan gender sebagai pusat dari keseluruhan mekanisme pembuatan dan
pengambilan kebijakan.
Tujuannya untuk pencapaian keadilan gender dan penghapusan diskriminasi gender
di semua level.Di arena politik, PUG memiliki beberapa tujuan, yaitu (1) untuk
menghapus kesenjangan gender dan peningkatan representasi; (2) agar lembaga
politik pengambilan keputusan termasuk parlemen bisa menjadi institusi yang
memberi keadilan dan kesetaraan bagi anggota laki-laki dan perempuan; (3)
produk kebijakan yang sensitif dan peka pada perbedaan laki-laki dan perempuan
serta; (4) aturan main di dalamnya tidak bias dan mendiskriminasi salah satu
jenis kelamin.
Pemaknaan PUG bukan hanya dimaknai
sebagai ‘policy framework’ yang kaku dan secara umum sering dilakukan melalui
analisa dokumen, check list data terpilah berdasarkan gender dan analisa
kebijakan yang dibuat partai/ fraksi, yang dihasilkan DPR dan DPD dengan
menggunakan perspektif gender.Model seperti itu jika tidak dilengkapi dengan
analisis kritis konteks politik Indonesia terkini dan gerakan perempuan, maka
tidak akan memadai untuk menjawab tantangan menjadikan perempuan di parlemen
sebagai agen perubahan untuk transformatif politik.
Hal lain yang juga harus diperhitungkan
sangat serius dalam upaya membuat parlemen yang responsif gender adalah medan
pertarungan politik yang tersedia dan apakah memang medan pertarungan (political
opportunity structure) menjadi ruang yang kondusif untuk transformasi
politik kaum perempuan di parlemen.
Berdasarkan latar belakang tersebut
pengarusutamaan gender di DPD dan DPR dengan demikian tidak hanya menganalisa
dokumen regulasi, komposisi keanggotaan, aturan main DPR/DPD selama 2004- 2009
yang dilengkapi dengan data terpilah yang dikumpulkan. Tapi lebih jauh dari
itu, studi ini juga dilengkapi dengan analisis konteks politik, analisis aktor
dominan dan gerakan perempuan Indonesia di arena politik yang dianggap akan
lebih tajam menjawab tantangan pengarusutamaan gender di parlemen serta
rekomendasi untuk membangun parlemen yang responsif gender ke depan.
Kesimpulan
Perubahan sistem Pemilu pasca reformasi, telah terjadi peningkatan semangat
keterbukaan dalam sistem politik, jumlah organisasi non-pemerintah (ornop)
telah meningkat, dan pembatasan-pembatasan terhadap aktifitas partai-partai
politik juga telah dihapuskan. Kondisi ini telah membawa pengaruh positif
terhadap perempuan. Berbagai ornop yang aktif di bidang hak-hak perempuan telah
meningkatkan kegiatan mereka. Akhirnya,
selama anggota legislatif masih berasal dari parpol, keterwakilan perempuan
dalam politik akan kembali kepada kesungguhan dan political good will dari
parpol dan segenap jajaran elitenya. Pesan lain yang perlu digariskan, berapa
pun persentase keterwakilan perempuan dalam politik juga harus didasari
pertimbangan rasional dan strategis, seperti kapabilitas untuk bersaing dan
berkontribusi dalam politik praktis secara signifikan, dukungan basis massa
yang jelas, dan pengalaman yang relevan, dan visi serta misi yang sejalan
dengan parpol. Tantangan yang berat, tapi bukan tidak mungkin untuk diwujudkan.
Selain itu banyak bermunculan organisasi-organisasi
yang memperjuangkan pemberdayaan politik bagi perempuan.Secara umum, organisasi-organisasi
ini setuju untuk memperjuangkan kuota bagi representasi perempuan, sambil
menyatakan perlunya kuota minimum sebesar 20-30 persen bagi representasi
perempuan di parlemen.Mereka juga telah memperjuangkan pencantuman kuota ini
dalam konstitusi, walaupun mereka masih belum berhasil.Mereka juga sedang
melobi pimpinan partai-partai politik agar mengangkat isu representasi
perempuan dalam posisi-posisi strategis dalam partai-partai politik tersebut.
Selain dari isu tentang kuota, isu yang
mendesak adalah bahwa tingkat representasi perempuan di parlemen bisa
ditingkatkan dan aspirasi masyarakat bisa disalurkan dengan lebih baik, dengan
merevisi sistem pemilihan umum.Sampai saat ini, sistem parlemen yang berlaku di
Indonesia adalah sistem pemilu proporsional.Namun, banyak orang memperdebatkan
bahwa sistem proporsional bisa memberi kesempatan terbaik untuk meningkatkan
representasi, karena banyak perempuan bisa diajukan untuk ikut pemilihan
melalui penggunaan daftar-daftar calon.Jika perempuan terwakili dengan baik
pada jabatan-jabatan yang dapat dipilih dalam daftar-daftar ini maka mereka
akan mendapat kesempatan baik untuk bisa terpilih.Oleh karena itu, revisi
terhadap sistem pemilihan umum bisa memberi pengaruh baik bagi pemilihan
perempuan masuk ke parlemen dimasa datang.Selain itu prioritas gender di DPR RI
membutuhkan prasyarat,yaitu prioritas gender di partai politik yang seharusnya
hadir terlebih dahulu karena berperan penting dalam pengkaderan perempuan dalam
parlemen kedepan.
Selain
itu, perempuan ditantang untuk mendobrak lobi-lobi politisi laki-laki yang
elitis, misalnya dalam pencalonan dan penentuan nomor urut, terlepas dari
pertimbangan dan keputusan akan suara terbanyak dalam pemilu mendatang. Belum
lagi, budaya politik parpol yang masih cenderung sentralistis dan patriarkat
yang membuat caleg perempuan tidak ditempatkan di nomor jadi dan dinominasikan
hanya sebagai formalitas tanpa kematangan mekanisme pendidikan dan rekrutmen
politik yang memadai demi memenuhi kuota 30% yang diamanatkan undang-undang.
Selain
itu, peran parpol sebagai salah satu pilar demokrasi yang memiliki fungsi
pendidikan dan rekrutmen serta sosialisasi politik harus terus ditingkatkan
dengan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk belajar berpolitik praktis
dengan memberikan tanggung jawab di posisi-posisi yang strategis (tidak hanya
administrasi dan keuangan, meskipun juga merupakan bagian dari keandalan
perempuan), tapi juga dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan.
Daftar Pustaka
- Sanit, Arbi.1985. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali.
- Sanit,Arbi.1995.Ormas dan Politik. Jakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan.
Artikelnya sangat berfaedah. Mohon izin dijadikan referensi. Ok
ReplyDelete